PEMBESARAN THRUST (THRUST AUGMENTATION)


Pembesaran thrust pada turbojet engine sangat diperlukan dalam kondisi tertentu, antara lain pada saat tinggal landas pada cuaca panas  atau untuk kepentingan manoeuvre bagi pesawat tempur. Besarnya thrust pada jet engine ditentukan oleh jumlah laju massa udara yang dihisap kompresor (m), kecepatan aliran gas hasil pembakaran yang disemburkan dari nosel (Cj), dan kecepatan udara masuk melalui diffuser nozzle (Ca), yang bisa dinyatakan :
F = m (Cj - Ca)
Turbojet engine merupakan mesin konversi energi yang mengubah energi panas menjadi thrust. Berdasarkan rumus thrust, besarnya Cj dipengaruhi oleh suhu maksimum yang dihasilkan dalam siklus turbojet engine. Semakin tinggi suhu maksimum berarti semakin besar harga Cj. Oleh karena itu salah satu cara memperbesar thrust pada turbojet engine dengan cara meningkatkan suhu maksimum pada siklus engine. Cara lain dalam meningkatkan thrust sesuai rumus di atas adalah dengan memperbesar laju aliran massa (m). Pesawat yang mampu menghasilkan thrust yang besar akan memperpendek jarak take-off,  laju terbang menanjak yang tinggi (high climb rate), dan mampu manoeuvre dengan lincah khususnya untuk pesawat militer. Berdasarkan penjelasan di atas, maka ada 3 cara pembesaran thrust dalam turbojet engine, yaitu menggunakan afterburnerwater injection, dan bleedoff.

Afterburner 
Pada dasarnya tujuan afterburner adalah pembesaran thrust dengan cara meningkatkan kecepatan semburan gas hasil pembakaran yang melalui nosel (Cj). Telah dijelaskan bahwa besarnya  Cj dipengaruhi oleh tinggi suhu maksimum dalam siklus turbojet engine, yaitu suhu setelah pembakaran atau suhu gas pada saat masuk turbin. Namun peningkatan suhu saat masuk turbin tidak boleh terlalu tinggi, dan dibatasi pada ketahanan bahan pembuat turbin untuk menerima stresstermal. Oleh karena itu peningkatan suhu maksimum siklus pada afterburner dilakukan setelah turbin, dengan cara pembakaran ulang (reheat). Pembakaran  dalam combustion chamber pada turbojet engine terjadi dengan campuran udara yang berlebihan (excess air), dengan rasio bahan bakar terhadap udara sekitar 0.017. Dengan demikian masih tersedia cukup oksigen untuk pembakaran berikutnya. Skema engine turbojet dengan afterburner dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 : Skema engine turbojet dengan afterburner

Pembakaran ulang dilakukan dengan menyemprotkan bahan bakar melalui sederetan nosel yang dipasang pada daerahtail pipe yaitu saluran antara turbin dan nosel.  Karena gas hasil pembakaran kedua (afterburner) tidak melewati  komponen apapun pada daerah turbin dan nosel, maka suhu gas buang yang dihasilkan dibuat setinggi mungkin  (sekitar 2000 °C). Energi panas yang dihasilkan dalam afterburner selanjutnya diubah menjadi energi kinetik dalam bentuk kecepatan semburan gas hasil pembakaran yang tinggi melalui nosel (Cj). Peningkatan Cj inilah yang akan memperbesar thrust. Konsekuensi dari afterburner adalah konsumsi bahan bakar yang boros, atau dengan kata lain akan meningkatkan secara signifikan specific fuel consumption (sfc). Specific fuel consumption adalah pemakaian bahan bakar persatuan thrust. Jika diasumsikan bahwa pada saat penggunaan afterburner (wet) diperoleh kondisi “choking” yang artinya diperoleh kecepatan Mach =1 (sonic) pada suhu Tuntuk proses pembakaran tanpa afterburner (dry) atau T7 untuk afterburner (lihat gambar 2). Pada kondisi choking, kecepatan semburan pada nosel (jet velocity) sebesar satu kecepatan suara (Mach =1), yaitu : 

Di mana = rasio panas jenis tekanan konstan terhadap panas jenis suhu konstan udara, R = konstanta gas untuk udara, dan Tc = suhu kritis (suhu pada nosel yang mengalami “choking” atau kecepatan Mach =1). Suhu kritis dapat diperoleh dari : 

atau

Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa Cj sebanding dengan besarnya akar suhu stagnasi pada saat masuk nosel (), dan momentum thrust akan meningkat dengan rasio . Dengan mengambil contoh pada gambar 2 berupa diagram T-s (suhu versus entropi) dengan asumsi proses isentropis (entropi konstan), pembesaran yang diperoleh sebesar = 1.44 kali. Pada penerbangan kecepatan tinggi, pembesaran thrust bisa lebih besar bahkan bisa mencapai 100%.
Gambar 2 : Siklus termodinamika turbojet afterburner

Gambar 3 : Variable geometric exhaust nozzlePembesaran thrust dengan afterburner pada engine turbofan bisa lebih besar dari pada turbojet, karena tersedianya suhu gas/udara yang rendah serta kelebihan jumlah udara akibat percampuran antara arus gas hasil pembakaran yang panas dengan udara yang dingin. Peningkatan 20%thrust pada engine turbojet bisa memperbesar pemakaian bahan bakar sebesar 100%. Oleh karena itu, biasanya penggunaan afterburner hanya untuk waktu yang singkat, antara lain untuk tinggal landas, terbang menanjak secara cepat, atau untuk manoeuvre bagi pesawat tempur.  Peningkatan suhu gas hasil pembakaran pada afterburner akan meningkatkan volume gas yang cukup besar, sehingga diperlukan penyesuaian luasan nosel  untuk memberikan fasilitas bagi gas untuk berekspansi. Oleh karena itu pada turbojet engine dengan afterburner dilengkapi dengan nosel yang luasnya bisa berubah-ubah (variable geometric nozzle), untuk mewadahi ekspansi gas yang sesuai dengan kondisi saat engine beroperasi tanpa ataupun dengan afterburner. Sebagai catatan bahwa selain pembesaran momentum thrust, pemakaian afterburner juga menghasilkan peningkatan pressure thrust. Pressure thrust adalah thrust yg dihasilkan oleh beda tekanan antara tekanan gas buang pada bidang nosel (Pj) dengan tekanan udara saat masuk ke engine diffuser (Pa). Jika beda tekanan tersebut dikalikan dengan luas penampang nosel (Aj), maka akan diperoleh thrust pressure. Dengan demikian thrust total yang dihasilkan engine adalah:
F = m (Ca - Cj) + Aj (Pj - Pa)

Membesarnya luasan nosel (Aj) untuk memberikan fasilitas ekspansi gas buang, dan meningkatkan Pj jelas akan meningkatkan pressure thrust secara signifikan. Kerugian pemakaian afterburner selain peningkatan specific fuel consumption juga akan meningkatkan kebisingan engine. Kebisingan engine ini disebabkan oleh peningkatan kecepatan semburan gas buang dari nosel.  
Water injection (Injeksi Air)
Cara pembesaran thrust dengan water injection adalah cara yang paling mudah. Campuran air dan alkohol diinjeksikan ke dalam ruang bakar melalui diffuser kompresor atau diffuser dengan menggunakan sederetan nosel penyemprot. Dengan disemprotkannya air ke dalam kompresor, maka akan menambah massa gas/udara yang masuk engine serta menurunkan suhu dalam kompresor. Penurunan suhu disebabkan oleh panas laten yang diserap untuk penguapan air. Peningkatan massa gas/udara dan penurunan suhu diffuser kompresor menyebabkan lebih banyak bahan bakar yang dibakar sebelum tercapainya batas suhu maksimum pada diffuser turbin. Semakin banyak fuel yang dibakar, akan menghasilkan energi panas lebih banyak yang akan meningkatkan besarnya thrust. Pembesaran thrust juga bisa dijelaskan bahwa dengan penambahan massa uap air ke massa udara akan meningkatkan pressure ratio kompresor, yang pada akhirnya akan meningkatkan thrust. Yang dimaksud pressure ratio adalah perbandingan antara tekanan keluar kompresor terhadap tekanan masuk kompresor. Pencampuran alkohol ke dalam air memberi beberapa keuntungan, antara lain :
  • a.  Mencegah pembekuan air, karena alkohol mempunyai titik beku rendah.
  • b. Alkohol sebagai bahan yang mudah terbakar, sehingga pada saat masuk ke ruang bakar akan ikut terbakar sehingga menambah energi panas meskipun energi yang dikandungnya relatif kecil.
Pembesaran thrust dengan water injection ini biasanya dilakukan pada saat kebutuhan thrust yang besar untuk keperluan tinggal landas pada landasan pendek dan cuaca panas. Dengan cuaca yang panas menyebabkan kerapatan (density) udara rendah yang berarti massa udara yang dihisap kompresor sedikit, sehingga perlu penambahan thrust dengan water injection. Pembesaran thrust dengan cara injeksi air ke diffuser kompresor atau ke ruang diffuser, dapat meningkatkan thrust10% sampai dengan 30%. Skema engine turbojet dengan water injection diperlihatkan pada gambar 4.
Gambar 4 : Skema engine turbojet dengan water injection

Bleedoff 
Pembesaran thrust dengan siklus bleedoff dilakukan dengan cara menarik massa udara bertekanan dari outlet kompresor kemudian disalurkan ke ruang bakar sekunder untuk dibakar. Pembakaran menghasilkan tekanan dan suhu tinggi, yang selanjutnya diekspansikan melalui nosel sekunder dalam bentuk  semburan gas berkecepatan tinggi. Kemudian massa udara yang diambil dari kompresor outlet untuk pembakaran sekunder, diganti dengan air dengan cara diinjeksikan melaluidiffuser kompresor yang akan menguap di ruang bakar primer (primary combustion chamber) dan keluar melalui turbin dalam bentuk uap air. Dengan demikian massa udara untuk engine utama (primary engine) diganti dengan uap air, dan pada kesempatan yang sama massa udara dengan tekanan yang tinggi diambil dari outlet kompresor masuk ke enginesekunder (secondary engine).
Gambar 5 : Skema engine turbojet dengan bleedoff
Penginjeksian air melalui diffuser kompresor dengan maksud mendapatkan penambahan jumlah massa dan pressure ratiokompresor yang lebih tinggi. Secara skematis pembesaran dengan cara bleedoff bisa dilihat pada gambar 5.
Engine J-58 Pratt-Whitney pada pesawat SR-71/Blackbird
Pada gambar 6 diperlihatkan engine J-58 buatan Pratt and Whitney yang digunakan pada pesawat berawak dengan kecepatan tertinggi yang pernah ada di dunia,  yaitu pesawat intai supersonik SR-71/Blackbird. Pada gambar terlihat pipa tabung yang digunakan untuk menyalurkan udara bertekanan dari kompresor tingkat 4 menuju ke ramjet yang ada di bagian belakang engine. Dengan engine ini pesawat mampu terbang dengan kecepatan maksimum Mach 3.2 pada ketinggian maksimum 80.000 kaki. Pesawat SR-71 dengan cat warna hitam legam tersebut telah lama di "grounded" oleh penggunanya yaitu Angkatan Udara Amerika Serikat, lantaran biaya operasional yang sangat tinggi yang salah satunya harus mengkonsumsi 80.000 gallon perjam. Wah banyak banget kalau dikonversi sekitar 320.000 liter .

Sumber: Ilmuterbang

Sistem Navigasi Inersial (INS: Inertial Navigation System)


Ilustrasi
Sistem navigasi inersial adalah sistem navigasi berbasiskan seperangkat sensor yang dikenal dengan nama sensor inersial (inertial sensor), yaituaccelerometer dan gyroscope/gyro.

Accelerometer
 mengukur gerak translasi dan gyromengukur gerak rotasi dari platform di mana sensor ini dipasang. Untuk mengukur gerak benda lengkap pada 6 derajat kebebasan (degree-of-freedom/DOF: 3 translasi dan 3 rotasi), dibutuhkan sepasang triad accelerometer dan triad gyroscope. Dalam satu paket, gabungan sensor ini dikenal dengan istilahinertial measurement unit (IMU). Berdasarkan cara penginderaannya (sensing characteristic) ada 2 jenis pemasangan IMU: stable-platform system danstrapdown system. Stable-platform systemmenggunakan prinsip rigidity-in-space atau kekekalan momentum sudut. IMU pada stable-platform system tidak berubah orientasinya terhadap kerangka inersial (misalnya bumi - abaikan revolusi bumi) walaupun kendaraan di mana sensor ini dipasang berubah orientasi nya (misalnya melakukan gerakan pitchyaw ataupun roll). Karena sulitnya perawatan (lubrikasi, dll) dan besarnya ukuran dan putaran sensor yang diperlukan untuk membuat stable-platform, walaupun sangat akurat, sudah sangat jarang digunakan (terutama untuk weight-sensitive application seperti pesawat terbang). Tapi sistem ini masih sering ditemukan pada kapal laut dan submarine (kapal selam). Strapdown system berlawanan dengan stable-platform system karena sensor ini ikut berputar dengan kendaraan di mana sensornya dipasang. Dengan demikian, sensor pada strapdown system selalu mengukur rotasi dan translasi pada kerangka kendaraan.

Gyroscope adalah sensor yang digunakan untuk mengukur rotasi. Berdasarkan jenis output-nya, ada 2 jenis gyroscope:rate-integrating gyro dan rate gyroRate-integrating gyro mengeluarkan perubahan sudut (menghitung seberapa banyak kendaraan sudah berputar), dan rate gyro menghitung seberapa cepat kendaraan berputar. Kedua-duanya menghitung rotasi kendaraan. Berdasarkan cara mengukur rotasi, ada beberapa kategori gyromechanical gyro (menggunakanflywheel, sudah tidak populer), ring laser gyro (RLG - dominasi oleh Honeywell), fiber optic gyro (FOG - dominasi Northrop Grumann, dulu Litton), MEMS/Solid-state gyro. Harga gyro mulai dari puluhan ribu dollar sampai satu dollar per axis, semuanya tergantung akurasi yang dibutuhkan.

Accelerometer sebenarnya salah nama. Accelerometer tidak mengukur akselerasi/percepatan, tetapi mengukur specific force atau gaya per satuan massa. Ini perlu diingat karena setiap benda mengalami percepatan gravitasi bumi walaupun tidak bergerak sama sekali; accelerometer mengukur juga percepatan gravitasi bumi sehingga dalam kalkulasinya, gravitasi adalah komponen yang harus dikompensasi. Dalam sistem navigasi inersial, accelerometer umumnya jauh lebih murah dibandingkan gyro karena perkembangannya juga jauh lebih cepat daripada teknologi gyro.

Sistem navigasi inersial (INS) adalah suatu sistem yang terdiri dari sensor inersial (IMU) dan seperangkat komputer yang menghitung posisi, kecepatan (groundspeed), dan orientasi (attitude) dari kendaraan (misalnya pesawat terbang). INS menggunakan prinsip hukum kedua Newton untuk menghitung ketiga besaran tersebut. Artinya, kecepatan diperoleh dengan menghitung integral dari percepatan, posisi dihitung dengan menghitung integral kecepatan. Karena pada dasarnya proses menghitung integral adalah proses penjumlahan, error yang sangat kecil akan terakumulasi menjadi besar setelah melakukan proses ini untuk jangka waktu yang sangat panjang.
Berdasarkan tingkat akurasinya, berikut ini adalah klasifikasi inertial navigation system:
  1. Strategic grade
    • Dipakai di pesawat luar angkasa ataupun submarine, error < 100 ft setelah 1 jam.
  2. Navigation grade
    • Dipakai di pesawat komersial, error < 1 nm setelah 1 jam.
  3. Tactical grade
    • Dipakai di missile, smart weapon, error < 10 nm setelah 1 jam.
  4. Automotive/consumer grade
    • Sensor murah, dipakai di mobil, robot, dll, error pada level 100 nm setelah 1 jam.

Oleh karena proses integral memerlukan initial conditions (nilai awal), setiap sistem yang menggunakan tenologi inersial dimulai dengan fase yang dikenal sebagai alignment. Proses ini memasukkan nilai awal untuk posisi, kecepatan dan orientasi dari pesawat. Pada proses alignment ini, biasanya pesawat dalam kondisi statik (diam) sehingga nilai untuk kecepatan awal adalah nol.

Nilai awal untuk lokasi didapat dari gate, koordinat yang sudah di-survey. Proses penentuan orientasi awal dibagi menjadi 2 tahap: levelling dan gyrocompassing

Levelling
 menggunakan accelerometer untuk menentukan posisi level (datar terhadap horizon) dengan menggunakan komponen gravitasi. Proses levelling menghitung pitch dan roll pesawat.

Gyrocompassing menggunakan komponen rotasi bumi untuk menghitung true heading dari pesawat. Hanya INS dengantactical grade ke atas yang bisa melakukan proses gyrocompassing. Proses alignment dibagi menjadi 2 yang dikenal sebagai: coarse alignment dan fine alignment (kurang lebih sekitar 15 menit). Fine alignment menggunakan filter untuk menghitung orientasi pesawat dengan akurat.

ARFL (Aeroplane Reference Field Length)


Aeroplane Reference Field Length (ARFL) adalah panjang landasan minimum yang diperlukan untuk lepas landas suatu pesawat terbang dengan ketentuan yang ada, setiap jenis pesawat terbang mempunyai ARFL sendiri yang tercantum dalam manual yang dibuat oleh pabrik yang memproduksi pesawat tersebut.
Sebelum lebih jauh membahas soal panjang landasan minimum (ARFL), alangkah lebih baiknya kita mengenal sedikit tentang sisi darat dan sisi udara dari suatu bandara. Sisi darat terdiri dari Jalan / Akses, Taman Parkir, Gedung Terminal. Sisi udara terdiri dari Runway, Taxiway, Apron. Sementara dimanakah batas antara sisi darat dan udara, sepanjang pengetahuan penulis counter Check-in ticket merupakan batas peralihan nya dimana tidak semua orang bisa bebas masuk ke dalam gedung terminal tanpa memiliki pas baik berupa (ID Card, ticket).
Landasan pacu (Runway) suatu daerah yang ditentukan yang dipersiapkan untuk pendaratan dan tinggal landas pesawat terbang. Faktor-faktor yang mempengaruhi panjang runway :
  1. Karakteristik kinerja (performance) pesawat
  2. Berat tinggal landas dan pendaratan pesawat (MTOW dan MLW)
  3. Ketinggian lokasi bandar udara
  4. Temperature referensi bandar udara
  5. Sudut kemiringan (slope) runway
Dari ke lima faktor tersebut ketinggian (elevasi), temperature, dan slope bisa menjadi referensi untuk melakukan perhitungan ARFL dari suatu bandar udara.

Elevasi

Ketinggian (elevasi) akan menambah panjang runway sebesar 7% setiap kenaikan 300 meter dihitung dari permukaan air laut.
Faktor Koreksinya :      
Fe = 1 +0,07 h/300                 h = elevasi

Temperature
Pada suhu udara yang lebih tinggi membutuhkan runway yang lebih panjang, karena suhu udara tinggi mengakibatkan kepadatan (density) udara rendah. Suhu udara standar pada ketinggian permukaan laut ditetapkan 15°C.
Menurut ICAO panjang runway harus ditambahi dengan 1% untuk setiap kenaikan suhu 1°C sedangkan setiap elevasi/ketinggian naik 1000 meter suhu udara akan turun 6,5°C
Koreksi Temperature : 
Ft = 1 +0,01{T - (15 – 0,0065.h)}      
T = temperature
h=  elevasi
Slope
Kemiringan  (slope) memerlukan runway yang lebih panjang untuk setiap kemiringan 1%, maka panjang runway harus ditambah dengan 10%.
Faktor Koreksi :
Fs = 1 + 0,1. S     S=Slope

Dari ketiga faktor koreksi tersebut :
Maka didapat rumus  :
ARFL =  ___PL__
           Fe x Ft x Fs 
PL = panjang landasan aktual.
Contoh :
Data Bandar Udara :
  1. panjang landasan          : 3200 meter
  2. Elevasi                         :   120 meter
  3. Temperatur                  :     28º C
  4. Kemiringan                   :     0,6 %

Koreksi Elevasi :
Fe = 1 +0,07 120/300 =1,028
Koreksi Suhu :
Ft = 1 +0,01{28 - (15 – 0,0065.120)}=1,138
Koreksi Slope :
Fs = 1 +0,1 0,6 =1,060
 



Artinya :
Bandar udara yang mempunyai data tersebut hanya mampu dipergunakan untuk tinggal landas maksimum sampai dengan pesawat yang memerlukan runway/ARFL 2581 meter menurut Aircraft manual.

Performa Sistem Navigasi dan Akurasi

Sistem navigasi memberikan perkiraan posisi, kecepatan, dan orientasi/attitude pesawat secara teratur (pada kecepatan sampling tertentu). Kuantitas ini (posisi, kecepatan, dan attitude) adalah perkiraan kuantitas sebenarnya (true values) akibat dari random noise yang selalu ada dalam setiap pengukuran (measurement noise). Oleh karena noise ini, kuantitas hasil perhitungan dari sistem navigasi mengandung random error. Artinya, posisi yang dilaporkan oleh suatu sistem navigasi, -misalnya posisi hasil perhitungan GPS-, bukanlah posisi sesungguhnya di mana pesawat/kendaraan itu berada.
Seberapa jauh perbedaan antara lokasi hasil perhitungan suatu sistem navigasi dengan lokasi sesungguhnya, di mana sistem tersebut berada, tergantung dari tingkat pengukuran (level measurementnoise pada sistem navigasi tersebut. Akurasi pengukuran pseudorange pada GPS misalnya dipengaruhi oleh atmospheric error (troposphere dan ionosphere delay),multipath error akibat pantulan signal, signal interferencethermal noise, dan lain sebagainya.
Agar suatu sistem navigasi dapat diterapkan, error pada sistem tersebut harus dipelajari dengan baik (karakterisasi). Tidak hanya sumber-sumber yang menyebabkan random error yang dipelajari dan dikarakterisasi, tapi juga harus mempelajari bagaimana menyatakan error tersebut pada kuantitas yang dihitung oleh sistem navigasi.
Contoh paling sederhana adalah sistem navigasi yang menghitung lokasi suatu platform (misalnya pesawat) dengan menggunakan pengukuran jarak ke beberapa beacon. Permasalahan ini umumnya dikenal dengan istilah triangulationkarena untuk menentukan lokasi suatu pesawat tanpa ambigu, butuh paling sedikit tiga beaconBeacon ini bisa berupa stasiun pemancar DME, satelit GPS, atau pseudollite.

Secara matematis, posisi pesawat dapat dihitung dengan menggunakan metode least square. Artinya, posisi pesawat diperkirakan sebagai sebuah posisi dengan perbedaan minimal antara perkiraan posisi dan posisi aktual/sebenarnya.


di mana  adalah perkiraan posisi yang dihitung oleh sistem navigasi dan x adalah posisi sebenarnya. Proses minimisasi dihitung secara statistik (menggunakan nilai ekspektasi atau rata-rata). Secara eksplisit, dapat dituliskan:

di mana ρ menunjukkan pengukuran jarak (range measurement) dari receiver di pesawat ke beacon tersebut.
Matrix H dikenal sebagai geometry matrix karena elemen di dalam matrix tersebut menunjukkan line-of-sight dari beacon ke pesawat. Matriks ini menentukan proyeksi error pada pengukuran range ρ1ρ2 , ρ3, … Sebagai contoh, dua ilustrasi di bawah ini menggambarkan bagaimana geometri yang berbeda menghasilkan penyebaran error yang berbeda. Pada kedua ilustrasi ini, lokasi pesawat sebenarnya digambarkan dengan titik merah. Ketiga stasiun pemancar DME digambarkan dengan titik hitam. Kumpulan titik biru menggambarkan hasil perhitungan sistem navigasi yang menggunakan range measurement dari ketiga stasiun DME ini. Setiap titik biru menunjukkan hasil perhitungan individual setiap realisasi random error pada range measurement. Dalam kedua skenario ini, 5000 sampel range measurement disimulasikan untuk mendapatkan penyebaran (distribusi) error dari perkiraan posisi.



Penyebaran error dari perkiraan posisi (position error distribution) menunjukkan tingkat akurasi suatu sistem navigasi. Penyebaran ini dapat dikuantifikasi dengan menyatakan nilai baku (standard) dari deviasi penyebaran tersebut. Angka yang sering dipakai adalah 95% accuracy level. Artinya, untuk konfigurasi yang sama, 95% dari seluruh hasil perhitungan sistem navigasi tersebut memiliki error di bawah angka yang dilaporkan. Contohnya, apabila sistem tersebut melaporkan 95%accuracy dari sistem tersebut adalah 2 nm, hanya 5 dari 100 kali sistem navigasi tersebut ditempatkan di posisi yang sama (pada kondisi yang sama) akan menghasilkan error di luar 2 nm. Kuantitas lain yang ekuivalen adalah CEP (circular error probable).
Tingkat akurasi ini dibutuhkan untuk proses sertifikasi dari suatu sistem navigasi sebelum digunakan dalam operasi. Angka ini diperoleh dengan menggunakan metode statistik (analitik atau monte carlo simulation) yang dibuktikan/verifikasi dengan pengumpulan data aktual. Data dikumpulkan dan histogram yang menunjukkan penyebaran error yang dihasilkan oleh sistem navigasi tersebut digunakan untuk menentukan tingkat akurasi sistem navigasi tersebut. Misalnya tingkat akurasi 95% diperoleh dengan menganalisa error maksimum pada 95% dari populasi tersebut. Untuk menentukan tingkat akurasi dari suatu sistem navigasi dengan akurat, diperlukan sampel yang cukup besar.


Sumber: Ilmuterbang

MEL (Minimum Equipment List)


MEL sendiri adalah singkatan dari Minimum Equipment List. Ini adalah dokumen wajib yang harus ada di setiap pesawat. MEL adalah dokumen berdasarkan Master MEL (MMEL) yang dibuat oleh pabrik pesawat dan harus di setujui penggunaannya oleh otoritas penerbangan.
MEL yang dibuat tidak boleh kurang (less restrictive) dari MMEL. Dengan kata lain MEL bisa lebih ketat daripada MMEL tergantung keputusan otoritas penerbangan.
Tujuan dari MEL adalah untuk membolehkan pesawat terbang dengan peralatan yang rusak untuk menghindari keterlambatan jadwal penerbangan dan menunda perbaikan sampai pesawat mempunyai waktu untuk perbaikan atau sampai perangkat yang dibutuhkan tersedia. Dalam MEL akan disebutkan maksimum jangka waktu yang diperbolehkan untuk terbang dengan peralatan yang rusak tersebut.
Dengan dasar itulah otoritas penerbangan membolehkan pesawat terbang dalam keadaan salah satu atau lebih bagiannya rusak dengan syarat semua kondisi yang disebutkan di MEL dipenuhi.

Aplikasi MEL
Jika ada bagian yang rusak sebelum melakukan penerbangan, MEL memberikan petunjuk pada penerbang dan teknisi untuk menentukan pesawat boleh berangkat atau tidak (GO/ NO GO decision).
MEL berlaku sebelum pesawat bergerak untuk terbang (move on its own power). Tapi jika kerusakan terjadi pada waktu pesawat sudah bergerak/taxi out untuk Take Off, maka keputusan untuk melihat MEL dan melanjutkan perjalanan akan berdasarkan pertimbangan dan good airmanship dari penerbang. 
Contohnya pada waktu taxi ke landasan, tiba-tiba ada kerusakan di salah-satu bagian pesawat, dan penerbang membuka MEL untuk melihat dampaknya. Pada saat itu diketahui bahwa bagian yang rusak adalah NO GO item, maka dengan good airmanship, penerbang bisa memutuskan untuk kembali ke apron dan membatalkan penerbangan sampai kerusakan diperbaiki sekalipun tidak melihat MEL pun penerbang sudah legal untuk berangkat. 
Keputusan untuk membatalkan penerbangan didasari oleh pertimbangan berikut:
  1. Bagian yang rusak sangat mempengaruhi keselamatan penerbangan
  2. Ada prosedur maintenance di MEL yang harus dilakukan sebelum melanjutkan penerbangan
Jika pesawat sudah terbang dan terjadi kerusakan, maka abnormal atau emergency procedurelah yang digunakan, bukan MEL.
Tapi MEL boleh dilihat sebagai tambahan pertimbangan untuk meneruskan penerbangan atau kembali, jika kerusakan terjadi setelah pesawat terbang tergantung hal di bawah:
  1. GO/ NO GO status.
  2. Kemungkinan perbaikan di bandar udara tujuan.
Dalam hal ini adalah sangat baik untuk menghubungi Operation Center dari perusahaan bersangkutan dengan radio/ACARS. Karena biarpun pesawat dapat melanjutkan penerbangan, tapi jika bandar udara tujuan tidak memiliki fasilitas perbaikan maka kemungkinan perusahaan akan memilih keputusan pesawat untuk kembali atau mendarat di bandar udara alternatif.


Pesawat bergerak dengan tenaganya sendiri

Rujukan
MEL
AFM + MEL jika dibutuhkan dengan pertimbangan penerbang
AFM
MEL
MEL
Fase penerbangan
Boarding – Push back
Taxy
Flight
Taxy
Arrival at gate

Catatan: MEL bukanlah pemandu untuk trouble shooting, atau pre-flight checklist!


ISI MEL:
MEL berisi daftar peralatan yang boleh tidak bekerja selama batasan/limitation dan prosedur yang ada dijalankan. Perangkat yang jelas dibutuhkan untuk pesawat untuk terbang, seperti: sayap, mesin, flaps dll, tidak dimasukkan dalam MEL.

Karena itu perlu diingat bahwa: Semua perangkat yang berhubungan dengan kelaikan udara dan tidak dimasukkan dalam MEL, otomatis perangkat tersebut harus bekerja dengan normal


Presentasi MEL
Untuk presentasi layout dan definisi dari bagian-bagian MEL, mohon untuk merujuk pada MEL di pesawat anda. Di bawah ini adalah beberapa istilah umum yang berlaku dalam MEL.

  1. Rectification interval: Jangka waktu untuk perbaikan. Biasanya ditampilkan dalam bentuk kategori A/B/C/D. Misalkan Category B adalah 3 hari. Maka pesawat boleh terbang dalam jangka waktu 3 hari setelah terjadi kerusakan pada bagian yang disebut dalam MEL.
  2. Number installed: Jumlah bagian yang terpasang di pesawat.
  3. Number required for dispatch: Jumlah yang dibutuhkan untuk melakukan penerbangan.
  4. Kode-kode lain, misalnya (*), (m), (p): jangan lupa untuk memperhatikan kode-kode yang tertulis, biasanya kode-kode tersebut berarti:
    1. (*) : must be placarded. Bagian yang rusak harus ditempel stiker yang menyatakan bagian tersebut tidak dapat digunakan.
    2. (m): maintenance required. Ada prosedur yang harus dikerjakan oleh mekanik sebelum setiap penerbangan.
    3. (o): Operational Procedure. Ada prosedur yang harus dikerjakan oleh penerbang sebelum setiap penerbangan.
    4. (P): Performance. Performance harus dihitung ulang dengan adanya kerusakan bagian dengan kode (P). Hati-hati jika mendapatkan kode (P) ini, karena mungkin kemampuan pesawat akan jauh berkurang.
    5. (R): RVSM, dengan kode ini, kemampuan untuk terbang di area RVSM akan terpengaruh.
    6. (A): All Weather Operation, kemampuan untuk ILS Cat 2/3 akan terpengaruh.
Masih ada beberapa kode lain yang ada di MEL. Lihat MEL di pesawat anda untuk keterangan yang lebih jelas.
Tabel panel
Terbang dengan beberapa MEL item
Jika kita menemukan beberapa item yang mengharuskan acuan ke MEL sebelum terbang, kita harus memastikan item-item tersebut tidak berkaitan satu sama lain. Hal ini dikarenakan MEL tidak dirancang untuk menganalisa kerusakan dan juga tidak mempertimbangkan banyak item yang rusak di satu waktu.

Sumber: Ilmuterbang

Gas Turbine Engine


Gas-turbine engine adalah suatu alat yang memanfaatkan gas sebagai fluida untuk memutar turbin dengan pembakaran internal. Didalam turbin gas energi kinetik dikonversikan menjadi energi mekanik melalui udara bertekanan yang memutar roda turbin sehingga menghasilkan daya. Sistem turbin gas yang paling sederhana terdiri dari tiga komponen yaitu kompresor, ruang bakar dan turbin gas.
Prinsip Kerja Sistem Turbin Gas (Gas-Turbine Engine)
Udara masuk kedalam kompresor melalui saluran masuk udara (inlet). Kompresor berfungsi untuk menghisap dan menaikkan tekanan udara tersebut, sehingga temperatur udara juga meningkat. Kemudian udara bertekanan ini masuk kedalam ruang bakar. Di dalam ruang bakar dilakukan proses pembakaran dengan cara mencampurkan udara bertekanan dan bahan bakar. Proses pembakaran tersebut berlangsung dalam keadaan tekanan konstan sehingga dapat dikatakan ruang bakar hanya untuk menaikkan temperatur. Gas hasil pembakaran tersebut dialirkan ke turbin gas melalui suatu nozel yang berfungsi untuk mengarahkan aliran tersebut ke sudu-sudu turbin. Daya yang dihasilkan oleh turbin gas tersebut digunakan untuk memutar kompresornya sendiri dan memutar beban lainnya seperti generator listrik, dll. Setelah melewati turbin ini gas tersebut akan dibuang keluar melalui saluran buang (exhaust).

Secara umum proses yang terjadi pada suatu sistem turbin gas adalah sebagai berikut:

1.      Pemampatan (compression) udara di hisap dan dimampatkan
2.      Pembakaran (combustion) bahan bakar dicampurkan ke dalam ruang bakar dengan udara kemudian di bakar.
3.      Pemuaian (expansion) gas hasil pembakaran memuai dan mengalir ke luar melalui nozel (nozzle).
4.      Pembuangan gas (exhaust) gas hasil pembakaran dikeluarkan lewat saluran pembuangan.

Pada kenyataannya, tidak ada proses yang selalu ideal, tetap terjadi kerugiankerugian yang dapat menyebabkan turunnya daya yang dihasilkan oleh turbin gas dan berakibat pada menurunnya performa turbin gas itu sendiri. Kerugian-kerugian tersebut dapat terjadi pada ketiga komponen sistem turbin gas. Sebab-sebab terjadinya kerugian antara lain:

o    Adanya gesekan fluida yang menyebabkan terjadinya kerugian tekanan (pressure losses) di ruang bakar.
o    Adanya kerja yang berlebih waktu proses kompresi yang menyebabkan terjadinya gesekan antara bantalan turbin dengan angin.
o    Berubahnya nilai Cp dari fluida kerja akibat terjadinya perubahan temperatur dan perubahan komposisi kimia dari fluida kerja.
o    Adanya mechanical loss, dsb.

Klasifikasi Turbin Gas

Turbin gas dapat dibedakan berdasarkan siklusnya, kontruksi poros dan lainnya. Menurut siklusnya turbin gas terdiri dari:

o    Turbin gas siklus tertutup (Close cycle)
o    Turbin gas siklus terbuka (Open cycle)

Perbedaan dari kedua tipe ini adalah berdasarkan siklus fluida kerja. Pada turbin gas siklus terbuka, akhir ekspansi fluida kerjanya langsung dibuang ke udara atmosfir, sedangkan untuk siklus tertutup akhir ekspansi fluida kerjanya didinginkan untuk kembali ke dalam proses awal. Dalam industri turbin gas umumnya diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu :

1.      Turbin Gas Poros Tunggal (Single Shaft)
Turbin jenis ini digunakan untuk menggerakkan generator listrik yang enghasilkan energi listrik untuk keperluan proses di industri.
2.      Turbin Gas Poros Ganda (Double Shaft)
Turbin jenis ini merupakan turbin gas yang terdiri dari turbin bertekanan tinggi dan turbin bertekanan rendah, dimana turbin gas ini digunakan untuk menggerakkan beban yang berubah seperti kompresor pada unit proses.